Home » , » Falsafah Blangkon yang sesungguhnya.

Falsafah Blangkon yang sesungguhnya.

Melihat foto profil saya di Facebook yang memajang gambar anak memakai blangkon, teman saya nyeletuk, "walau anakmu pakai blangkon yang penting tidak meniru falsafah blangkon". 

Sedikit bingung saya lalu tanya tentang falsafah blangkon menurut sobat saya itu. Dan dia menjawab ."Dari depan blangkon terlihat rapi tetapi di belakang ada mbendholnya (mondholan), persis dengan sikap beberapa orang Jawa yang pandai menyimpan maksud sebenarnya dari sebuah sikap yang menipu".

Saya tersenyum kecut mendengar jawaban itu. Memang banyak orang yang sudah menyampaikan falsafah blangkon, orang luar jogja, maupun orang jogja sendiri yang latah asal ngikut dengan filosofi keblinger itu. Kalau saya pribadi urusan jahat yang disimpan di hati dan hanya menampakkan hal baik di depan untuk menutupi akal bulusnya bukan hanya orang jawa saja. Ahhh... malah ethnosentris banget, bukan bermaksud membela budaya jawa loh..

Saya jadi ingat dengan tetangga saya, tukang sepatu yang dipanggil Pak Mondol, karena tiap hari selalu memakai iket blangkon. Dulu sebelum dia pergi dari kampung, beliau sempat bertutur tentang falsafah blangkon yang sesungguhnya. Falasafah blangkon ternyata jauh bertolak belakang dari yang diketahui kebanyakan orang, luar biasa!

Blangkon sebenarnya bentuk praktis dari iket yang merupakan tutup kepala yang dibuat dari batik dan digunakan oleh kaum pria sebagai bagian dari pakaian tradisional Jawa. Untuk beberapa tipe blangkon ada yang menggunakan tonjolan pada bagian belakang blangkon yang disebut mondholan. Mondholan ini menandakan model rambut pria masa itu yang sering mengikat rambut panjang mereka di bagian belakang kepala, sehingga bagian tersebut tersembul di bagian belakang blangkon. Lilitan rambut itu harus kencang supaya tidak mudah lepas. 

Sekarang lilitan rambut panjang yang menjadi mondholan sudah dimodifikasi karena orang sekarang kebanyakan berambut pendek dengan membuat mondholan yang dijahit langsung pada bagian belakang blangkon. Ada 2 jenis blangkon yaitu gaya Surakarta (Sala) dan gaya Yogyakarta. Blangkon gaya Surakarta mondholannya trepes atau gepeng sedang mondholan gaya Yogyakarta berbentuk bulat seperti onde-onde.

Bagi orang jawa rambut, wajah ataupun kepala adalah mahkota. Dari sudut kepala segala model perwatakan dan gejala emosi dapat terbaca. Orang jaman dahulu biasa memanjangkan rambutnya. Meskipun memanjangkan rambut bukan berarti mereka akan membiarkan rambutnya tergerai urakan seperti dalam film-film. Rambut biasanya akan digelung/diikat dengan ikatan kain diatas kepala atau disisi belakang kepala. Ini bermakna bahwa orang tersebut mampu menata rambutnya dan tidak membiarkan tergerai awut-awutan adalah manusia yang mampu menata kepribadiannya. Mampu mengendalikan diri dengan mengikatnya erat-erat di belakang kepala.


Orang jawa jaman dahulu hanya akan membiarkan rambutnya tergerai hanya saat sedang di rumah dan saat akan berperang! Ya, saat sedang berada dalam sebuah kancah konflik yang berarti sengaja membiarkan seluruh emosinya keluar apa adanya. Dan perlu diketahui sebelum memasuki masa berkonflik mereka sudah melalui berbagai tahap pengendalian diri hingga konflik adalah jalan terakhir. Dan terpaksa rambut yang telah digelung rapi & diikat dengan iket blangkon harus terurai, mbendolnya hilang dong...

Jadi blangkon adalah sebuah wujud pengendalian diri dengan menampakkan bagian depan blangkon yang diikat rapi (diwiru dengan halus) lalu menahan gejolak emosi, dalam hal ini rambut sebagai lambang gejolak emosi, dengan mengikatnya di belakang kepala hingga berbentuk benjolan tadi. Meski hati panas tapi kepala harus dingin. Maka bila emosi sudah tak tertahankan dan meledak maka lelaki jawa harus mengurai mondolan di blangkonnya, membiarkan rambut panjangnya tergerai.

Hal inilah yang sering disalah pahami sebagai halus di depan tapi dongkol dibelakang untuk menyembunyikan niat busuknya. Sebagai orang jawa tulen sudah semestinya saya meluruskan kesalah pahaman itu. Sekali lagi etnis manapun berpotensi seperti itu. Falsafah blangkon di jaman sekarang tidak jauh berbeda dengan EQ Kecerdasan Emosi. Bila anda adalah orang jawa tapi tidak mampu mengendalikan emosi, nafsu, syahwat maka anda tidak berhak mengenakan iket blangkon di kepala...memalukan!
"NGLURUG TANPA BOLO, MENANG TANPO NGASORAKE"


0 comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar secara sopan dengan menggunakan bahasa baku yang baik dan benar demi menghindari spam.

Follow us on Facebook

Translate