Mengenal penggunaan, makna, arti dan filosofi saput poleng kain khas Bali

Mengenal makna, arti dan filosofi saput poleng kain khas Bali

Jika kita kerumah orang bali maupun keBali itu sendiri maka kita akan melihat disekitar rumahnya terdapat gapura, patung, atau pohon yang diselimuti kain bermotiv kotak-kotak yang bercorak hitam dan putih.Nama lain dari kain kotak-kotak bercorak hitam putih yang seperti papan catur itu iyalah ‘saput poleng’. Di Bali sendiri saput poleng ini bertebaran dan menyelimuti pohon khusus terntentu, baik di depan rumah, didalam pura(Tempat Ibadah Hindu Bali), maupun di pinggir-pinggir jalan.

Dalam benak masyarakat awam yang belum mengetahui makna dan tujuan kain poleng ini mungkin akan merasa aneh, gimana tidak aneh, masa pohon diselimuti baju. Dalam ulasan ini kami akan menjelaskan filosofis dari saput poleng tersebut. Makna filosofis Saput poleng merupakan bentuk dasar dari jagat raya kita yaitu positif dan negatif yang dalam kajian masyarakat Bali dikenal sebagai istilah Rwa Bhineda. Rwa Bhineda adalah dua sifat yang bertolak belakang, yakni hitam-putih, baik-buruk, bersih kotor, atas-bawah, suka-duka dan sebagainya.Saput Poleng dalam bahasa bali terdiri atas kalimat ‘saput’ yang artinya selimut, dan ‘poleng’ yang artinya belang. Selimut belang yang bermotiv papan catur dan bercorak hitam putih ini merupakan khas bali. Dalam konteks tradisi di Bali, ‘saput’ bermakna busana yang dalam bahasa Bali disebut ‘wastra’. Hingga akhirnya saput poleng diartikan sebagai ‘busana bermotif kotak kotak dan bercorak hitam putih’ yang dipergunakan secara acara khusus.

Jero Mangku Widya, sesepuh spiritual muda asal Denpasar, menjelaskan bahwa warna kotak-kotak hitam putih itu merupakan simbol Rwa Bhineda.
"Kalau di Tiongkok ada yang namanya Ying dan Yang maksudnya adalah didunia ini terdiri atas positif dan negatif" kata Jero Mangku Paksi, Sabtu 20 Februari 2016. 

Penyematan kain itu terhadap sesuatu itu adalah simbol. Jika sebuah pohon atau patung dikenakan kain tersebut, kata Jero Mangku Widya, di sana bersetana (bersemayam) dzat yang menghitam-putihkan dunia ini. Artinya disetiap sisi itu segala sesuatu berstana sifat hitam dan putih dan keduanya harus seimbang, dan kain poleng itu dimaksudkan untuk penyeimbang antara hitam dan putih dari suatu sisi di Bumi ini.

"Jika terdapat tugu yang diselimuti kain hitam putih kotak-kotak, berarti yang bersetana di tugu itu adalah yang menghitam-putihkan areal pura tersebut," jelas dia.
Namun hakikatnya, Jero Mangku menambahkan, warna hitam putih pada kain poleng merupakan manifestasi keseimbangan alam jagat raya.
"Rwa Bhineda itu ada hitam ada putih, ada benar ada tidak benar, ada bersih ada kotor. Intinya adalah keseimbangan alam," tutup Jero Mangk

Jenis-Jenis Poleng di Bali
Menurut tradisi terdapat tiga jenis Saput Poleng yaitu Saput Poleng Rwa Bhineda, Saput SPoleng Sudha Mala dan Saput Poleng Tri Datu. Saput poleng Rwabhineda bercorakan putih dan hitam. Warna terang dan gelap sebagai symbol baik dan buruk sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas. Saput poleng Sudha Mala bercorakan putih, hitam dan abu. Abu sebagai peralihan hitam dan putih yang artinya menyelaraskan atau menyeimbangkan antara baik dan buruk. Sedangkan Saput Poleng Tridatu berwarna putih, hitam dan merah. Merah simbol rajas (ke-energikan), hitam adalah tamas (kemalasan), dan putih simbol satwam (kebijaksanaan, kebaikan).Saput Poleng sebagai simbul tradisi umat Bali digunakan oleh para pecalang(Orang yang menertibkan jika ada kegiatan adat), patung penjaga depan gerbang, kulkul/kentongan, balian(Orang Spritual Bali), dikenakan oleh dalang wayang kulit ketika melaksanakan pangruwatan/penyucian, pada pohon-pohon tertentu, maupun pada tempat suci yang diyakini berfungsi sebagai penjaga. Pada intinya makna Saput Poleng itu bertujuan untuk menjaga agar terjadi keselarasan antara energy negative dan energy positive.

Penggunaan ‘Saput Poleng’ Kain Kotak Hitam-putih pada tradisi BaliSaput poleng ini khusus dalam artian: Tidak boleh di kenakan di sembarang tempat maupun sembarang benda, acara atau kesempatan. Melainkan hanya boleh ditempat, benda, dan acara khusus tertentu saja.Di Bali, Pura yang dikenakan Saput Poleng masing-masing disebut ‘pelinggih’. Dalam bangunan tempat suci Hindu Bali ini terdapat kelompok yang memiliki tata letak khas yang terdiri dari Tri Mandala atau tiga wilayah yaitu: 1. Utama Mandala, ini merupakan wilayah yang paling dalam yang sering disebut oleh umat Bali yaitu ‘Jeroan’ untuk menyebut Mandala Utama.2. Madya Mandala, ini merupakan wilayah tengah Pura yang sering disebut oleh umat Bali yaitu ‘Jaba Tengah’.3. Nista Mandala, ini merupakan wilayah Pura yang paling luar yang biasa disebut oleh umat Bali yaitu ‘Jaba Pisan’Untuk penggunaan saput poleng pada Pura ini khususnya dipergunakan untuk bangunan pura bagian luar atau Nista Mandala termasuk Patung penjaga gerbang yang berada diwilayah paling luar Pura. Selain di patung, juga dipergunakan sebagai umbul-umbul dan paying yang biasa ditancapkan pada wilayah pura paling luar.Saput oleng dalam Rumah Orang Bali.Dalam pekarangan dan rumah orang Bali memiliki struktur seperti Pura yang ada dibali yaitu memaki konsep Tri Mandala dan juga untuk mempergunakan Saput Poleng ini tidak beda jauh dengan yang ada di Pura yaitu di wilayah paling luar, di pura dalam rumah oran Bali, dan di patung penjaga gerbang yang terdapat di sisi kiri dan kanan gerbang.Saput Poleng sebagai busana khas orang Bali.Saput poleng ini dipergunakan oleh masyarakat Bali sebagai busana khas mereka. Namun Saput Poleng ini tidak boleh dipergunakan sembarang kesempatan, melainkan khusus dipergunakan hanya pada saat sedang melaksanakan tugas adat yang berhubungan dengan upacara/upakara di wilayah luar baik itu di pura, rumah atau desa adat.

Apa perbedaan Tempat Ibadah dan Tempat Suci ?

PERBEDAAN TEMPAT IBADAH DAN TEMPAT SUCI
[ sebuah tempat dimana hadirnya Tuhan sebagai bentuk energi atau konsep agama ]
Tempat ibadah adalah hanya lambang agama yang belum tentu memiliki sifat kesucian, belum tentu mampu memberi mamfaat kesucian pada masyarakatnya. Tempat ibadah adalah hanya sebagai tempat yang mengarahkan manusia untuk berkumpul dan membahas kesucian untuk mampu memahami konsep ketuhanan. Bagi agama Tuhan itu adalah konsep, dan terkadang Tuhan itu dianggap sosok pribadi, agama belum mampu menjadikan Tuhan itu adalah kesadaran kesucian itu sehingga agama belum mampu mengantar manusia pada kesucian itu sendiri yang teraplikasi pada kehidupan harmonis, moral yang tinggi serta menjaga alam semesta seperti yang diwajibkan Tuhan.

Bagi sebagian besar masyarakat agama pasar (maksudnya agama pada umumnya) menyatakan bahwa tempat ibadah itu adalah tempat suci dan tempat menemukan Tuhan sebagai bentuk pribadi. Tempat ibadah adalah tempat eksklusif yang menjadikan manusia itu memiliki nilai keTuhanan yang matang serta mendatangi tempat ibadah adalah simbul dari perilaku keagamaan yang tinggi diantara masyarakat biasa.

Bagi mereka yang memiliki kesadaran Tuhan sebagai bentuk pengetahuan tertinggi yang ditempatkan pada kesadaran yang tertinggi pula, maka tempat suci itu tidak mesti menunjuk pada tempat ibadah atau tempat yang terdapat simbul agama. Tempat ibadah itu menjadi tempat suci ketika masyarakat yang hadir ditempat ibadah itu melakukan kontemplasi bathin pada kesadaran Tuhan. Pertemuan antara tempat ibadah dengan kesadaran pada Tuhan inilah yang sempurna dan akan memberi manfaat kesucian pada seluruh masyarakat yang berada pada tempat ibadah saat itu.

Tempat suci bagi mereka yang memiliki kesadaran tertinggi dan prinsip moralitas yang utama adalah seluruh tempat diatas dunia ini. Karena mereka yang berkesadaran itulah yang menyucikan tempat itu, karena dimanapun mereka yang berkesadaran dan memiliki prinsip moral yang tinggi akan selalu mampu menghadirkan kuasa Tuhan secara nyata pada setiap aplikasi hidupnya. Penderitaan dan kenestapaan masyarakat akan hilang secara perlahan ketika tempat mereka itu diwujudkan menjadi tempat suci oleh manusia yang berkesadaran Tuhan. Maka dimanapun mereka berada tempat itu akan menjadi suci. Dengan kata lain Tuhan tidak hanya bersemayam/tinggal ditempat-tempat yang kita anggap suci, tapi Tuhan akan hadir ketika kita sudah memiliki kesadaran tinggi serta prinsip moralitas bagi tubuhnya, karena tubuh manusialah Rumah Sucinya.
Oleh Ki Dukuh

MENGENAL KIBLAT DALAM BERSPIRITUAL

MENGENAL KIBLAT DALAM BERSPIRITUAL
ARAH TIMUR ADALAH KIBLAT KAHURIPAN [ SIWA ]
ARAH BARAT ADALAH KIBLAT KASUNYATAAN [ MOKSHA-NIRVANA ]
TENGAH/DIRI ADALAH KIBLAT BUDDHI [ BUDDHA ]

Memahami kiblat diri/ bathin adalah mutlak karena kiblat lainnya adalah kelanjutan dalam proses kehidupan yang dinamis dan holistik. Diri atau Tengah adalah awal dan akhir dari perjalanan proses spiritual, kenapa dinamakan awal dan akhir karena berawal dari dalam diri, juga akan berakhir didalam diri.Proses kehidupan alam materi ini adalah merupakan kuasa ruang dan waktu kehidupan itu sendiri. Kuasa ini meliputi kehidupan dan kematian sel hidup tersebut, begitupun mengenai kehidupan zat pelengkap sel yakni unsur air, unsur plasma, unsur udara, unsur panas termasuk sisa pembakaran yang dibuang oleh pertumbuhan sel tersebut.Namun gelap bukan berarti akhir dari perjalanan proses kehidupan, sejatining urip sesungguhnya tidak menganal kematian dan kehidupan, sejatining urip adalah zat yang kekal dan abadi, dialah hidup sejati itu. Gelap identik dengan terhentinya kehidupan alam materi, maka saat gelap inilah sesungguhnya mulainya kehidupan sejati urip atau roh / spirit itu. Bagaimana mengenali sejati/urip/roh tersebut ada didalam diri manusia. Sekali lagi disinilah fungsi mengenal kiblat tengah itu yakni sang diri/buddhi/bathin. Mengenal kiblat diri atau tengah menunjuk pada ada sinar atau cahaya yang berkilauan pada dasar hati, dimana cahaya itu berasal dari kontemplasi bathin yang telah bangkit. Cahaya inilah menurut kitab teologi timur dinamakan BUDDHA [ kabuddhaan ]


Memahami ada dimana, sedang apa, dengan siapa dan bagaimana langkah selanjutnya adalah sikap yang mengarah pada tengah/diri yang merupakan kiblat buddhi atau bathin. Kiblat ini yang sesungguhnya merupakan proses panjang dan memerlukan tenaga dan pikiran yang agak matang karena kiblat ini merupakan dasar dari arah atau kiblat selanjutnya.
Banyak masyarakat yang mengabaikan kiblat ini, buru buru mengarah pada kiblat yang lainnya, disinilah mereka terjebak dengan hal yang paling terpuruk sepanjang proses kehidupan spiritual maupun kehidupan lainnya. 
Cara terbaik dari mengenal kiblat diri atau tengah ini adalah dengan mengembangkan sikap peka terhadap kehidupan lain, peduli dengan kehidupan mereka, tumbuh rasa welas asih pada proses kehidupan mereka, rasa tolong menolong pada setiap tindakan kehidupan mereka. Yang terpenting adalah dengan cara tapa, brata, yoga dan samadhi sebagai inti pengetahuan semuanya. Menurut kitab teologi timur proses ini yang dinamakan sifat BUDDHA [ Gomo Buddhi Luhur ].
Kiblat kahuripan ada di arah timur [ matahari terbit ], kenapa dinamakan demikian karena segala sesuatu yang berkenaan dengan hidup/urip alam materi pasti memerlukan sinar matahari sebagai asupan bahan bakar proses kehidupan yang bersumber dari sari-sari makanan yang ada dialam semesta.
Memahami kiblat kahuripan sebelumnya harus mengerti tentang pertumbuhan, apa itu pertumbuhan adalah perkembangbiakan. Berkembang baik adalah hasil perkawinan atau pertemuan dua buah unsur yakni unsur energi feminime dan maskulin yang memiliki kutub yang berbeda. Dimana posisi kedua energi tersebut adalah berlawanan. Mempertemukan kedua buah energi ini adalah dengan cara menghidupkan jiwanya, menumbuhkan rasa yang saling tertarik. Munculah persepsi kasmaran diantara keduanya, kemudian persepsi asmara keduanya memicu terjadi percumbuan energi. Ruang percumbuan ini dilakukan pada rasa hening, sinar remang-remang, penuh suasana kasemaran dengan alunan kidung semarandhana. Hasil dari percumbuan inilah yang akan melahirkan sel kehidupan yang sempurna yang akan menjadi zat inti kehidupan itu yang dinamakan sel kehidupan.
Didalam kitab teologi timur inilah hang dinamakan SIWA, pengetahuan tentang kehidupan dan proses dinamisasi kehidupannya yang memiliki sifat pengetahuan tamasika.
Kiblat Barat adalah kiblat kasunyataan [ arah matahari tenggelam ], kenapa dinamakan demikian karena gelap adalah akhir dari tenggelamnya matahari, gelap adalah lambang tidak adanya pertumbuhan sel kehidupan, bahkan gelap adalah pertanda genderang kematian alam materi.
Kasunyataan adalah proses menghubungkan urip/roh/spirit kepada inti urip yang dinamakan sejatining urip [ istilah kedjawen adalah GUSTI ]. Keterhubungan antara urip/roh/spirit dengan gusti maka lahirlah energi yang berupa rasa dan persepsi yang sangat supra yakni wujud suci, shakti dan wisesa. Rasa dan persepsi suci, shakti dan wisesa ini akan menimbulkan kepercayaan diri yang sangat kuat pada sel hidup alam materi pada kiblat kahuripan.
Hidup yang penuh percaya diri akan menjadikan kesempurnaan dalam proses kehidupan apapun, kesempurnaan ini akan ,menghasilkan mamfaat hidup yang layak bahkan bisa digunakan untuk membantu kehidupan lainnya dialam semesta. Mamfaat lainnya adalah berupa kemahardikaan hidup, menurut kitab teologi timur ini dinamakan nirvana-moksa semasih berkehidupan dialam semesta.
Inilah yang menjadi tujuan seluruh manusia yang hidup didunia ini yang sering disebut dengan istilah sukses dan bahagia. Hanya dengan memiliki rahasia pengetahuan kiblat ini manusia akan mampu melangkah dan berjalan dengan efisien waktu, tepat prinsip hukum karma dan terarah pada singasana tuhan yang benar.
Oleh Ki Duku Krena Dwajaya

Orang-Orang Hebat Yang Sederhana

Sejak beberapa hari tinggal di Singapore sebagai Senior Research Fellow di Middle East Institute (MEI) of National University of Singapore (NUS), setidaknya ada dua kali saya menemui orang-orang hebat yang bersahaja. Yang pertama adalah Peter Sluglett, Direktur MEI dan sejarawan beken tentang Timur Tengah yang menulis banyak publikasi mengenai dunia Arab. Di usianya yang sudah sangat uzur ini, Professor Sluglett yang pernah mengajar di Inggris dan Amerika ini masih semangat untuk menulis. Saat ini ia sedang merampungkan sebuah buku tentang sejarah Suriah.
Melihat bentuk fisik dan semangat akademik Pak Peter Sluglett yang luar biasa ini mengingatkanku pada sosok Professor Peter L. Berger, sosiolog agama ternama yang pernah menjadi "bos" dan mentorku di Boston University, yang juga meskipun sudah berusia sangat lanjut masih terus produktif menulis: buku, blog, jurnal, kolom media, dlsb. Sudah tak terhitung lagi berapa karya Pak Peter Berger ini. Setiap diskusi, ia selalu semangat menggebu-gebu bertanya, mengkritik, menjawab, menjelaskan. Selama setahunan saya menjadi fellow di lembaga Pak Peter Berger dan selama itu pula kami bergumul dengan beliau dan mengikuti berbagai kegiatan akademik yang sangat mencerahkan.
Kini di NUS, saya bertemu dengan Pak Peter lagi. Tapi Pak Peter yang lain. Pada hari pertama saya "ngantor", seorang staf menemuiku: "Prof, ini ada kartu untuk naik bus dari Peter Sluglett. Tapi isinya cuma $5 untuk sementara saja katanya, nanti bisa diisi lagi." Ia juga berpesan kalau nanti sore Professor Peter Sluglett mau mengajak pulang bareng naik bus sekalian mau nunjukin rute bus dari kantor ke apartemen. Saya iyakan saja tawarannya. Dan betul, setelah jam kantor usai, Pak Peter datang menemuiku untuk ngajak pulang bareng yang kebetulan tinggal di kompleks apartemen yang sama denganku.
Dengan sabar dan telaten, sambil jalan pelan-pelan karena ia sudah tua, ia menerangkan rute/jalan pintas dari kantor ke jalan raya tempat pemberhentian bus. Ia memperingatkanku agar memperhatikan gedung-gedung sekitar supaya tidak nyasar kalau naik bus (sepertinya kok dia tahu kalau saya sering nyasar kalau naik bus he he). "Kalau naik bus di Singapore kartu harus di-tap dua kali, saat masuk dan keluar dari bus. Ini beda dengan di Amerika," jelasnya.
Di bus ia terus menjelaskan berbagai gedung di kanan-kiri yang saya harus perhatikan dengan seksama supaya tidak nyasar tadi saat pergi dan pulang kantor dengan naik bus. Saya hanya manggut-manggut saja mendengarkan dengan seksama penuturannya yang menggunakan Bahasa Inggris campuran aksen British-Amerika. Sesekali saya melirik kanan-kiri, ada beberapa penumpang sepertinya menatap kami penuh selidik. Mungkin pikirnya, "Ini kok ada kakek-kakek malah yang jelasin ke anak muda sih. Gak kebalik?" Saya sih cuek-bebek saja. Saya mah gitu orangnya, rada-rada ndableg gitu he he. Tidak hanya itu saja, Pak Peter juga mengajak saya menelusuri lorong-lorong kecil jalan pintas dari apartemen menuju tempat belanja dan restoran murah-meriah tempat dimana ia biasa belanja dan beli makanan.
Hari berikutnya, saya mau ke bank di kampus, dan karena bingung, saya tanya lagi ke seseorang di jalan. Kali ini bukan Pak Peter tapi orang lain yang juga sudah cukup tua berperawakan Asia Timur, meskipun tidak setua Pak Peter. Ia dengan ramah dan semangat, bukan hanya nunjukin rute saja tapi juga jalan bareng mengantarku sampai di bank sampai keringetan basah-kuyup. Setelah sampai di bank, kami kemudian saling memperkenalkan diri dan ia ternyata Pak Wakil Rektor yang baru setahunan katanya pindah dari Amerika...
Sumber kebaikan itu bisa datang dari mana dan apa saja, dari agama apa saja, dari suku-bangsa di mana saja di alam semesta ini. Kebaikan bukan monopoli agama dan etnik tertentu. Kebaikan juga tidak membutuhkan agama tertentu karena Tuhan sudah melengkapi manusia dengan berbagai panca indra dan organ yang sempurna untuk mampu mengenali dan merasakan kebaikan dan kejahatan umat manusia...
Kent Vale, Singapore

Penyakit Tahunan Sejumlah Kelompok dan Umat Muslim Indonesia

Setiap bulan puasa, sejumlah kelompok dan umat Islam (sejumlah lo ya, gak semuanya, nanti ada yang menuduh lagi saya anti Islam dan kaum Muslim) di Indonesia selalu saja ada yang melakukan berbagai tindakan arogan, anarkis, ngamuk, mau menangnya sendiri, betul-betul memuakkan dan memalukan.

Yang rutin mereka lakukan setiap tahun di bulan puasa misalnya, "sweeping" warung-warung yang buka di siang hari, ngobrak-abrik tempat-tempat yang mereka anggap "sarang maksiat", kemudian khotbah dimana-mana pletar-pletor kayak petasan minta semua orang, khususnya non-Muslim, untuk menghormati kaum Muslim yang sedang menjalankan ibadah puasa dengan cara tidak makan-minum di hadapan orang-orang yang berpuasa atau menutup warung makan di siang bolong. Inilah yang saya maksud dengan "penyakit kambuhan tahunan" (sebagian) umat Islam.

Dengan berlagak seperti "satpam Tuhan", mereka tidak sungkan-sungkan membentak-bentak orang lain atau bahkan melakukan kekerasan terhadap orang/kelompok lain yang menurut mereka tidak "menghormati" bulan Ramadan. Bukankah tindakan ini seperti "anak-anak" balita yang merengek-rengek minta diperhatiin orang tuanya? Atau, barang kali, seperti "Tuan Takur" dalam film India itu atau "tuan-tuan" lain yang "gila hormat"? Apakah kira-kira Tuhan bangga dengan kelakuan arogan mereka?

Jika kita dengan mudahnya minta umat agama lain untuk menghormati ibadah-ritual kita, apakah kita juga sudah melakukan hal yang sama: menghormati ibadah-ritual umat agama lain? Jika kita ingin dihormati orang lain, maka kita juga harus menghormati orang lain. Jika kita merasa sakit karena tidak dihormati orang lain, maka begitulah umat lain juga akan merasakan sakit jika kita tidak menghormati dan bahkan mengolok-olok mereka.

Puasa bukan hanya menahan makan-minum tapi juga menahan hawa nafsu, termasuk nafsu amarah dan mau menangnya sendiri. Tuhan tidak butuh "satpam" atau "satpol PP". Jangankan masalah puasa, soal keimanan dan kekafiran orang saja, Tuhan santai banget. Manusia saja yang ribut.

Akhirul kalam, jika kita minta orang yang tidak berpuasa untuk menghormati orang yang berpuasa, maka kita yang berpuasa juga harus menghormati mereka yang tidak berpuasa. Selamat menjalankan ibadah puasa bagi yang berpuasa, dan selamat menikmati makan-minum seperti biasa bagi yang tidak berpuasa.
Kent Vale, Singapore
Ditulis Oleh Sumanto Al Qurtuby

Renungan diri Tatwam Asi

Renungan Diri TAT TWAM ASI (तत् त्वम् असि)

“Sebuah Sadhana Maha Welas Asih”
Mahavakya (Slogan dharma yang agung) yang sangat terkenal dari buku suci Chandogya Upanishad yaitu “Tat Twam Asi”. Arti sebenarnya dari Tat Twam Asi dalam bahasa sansekerta adalah “ENGKAU ADALAH ITU".

“ITU” menunjuk pada Sang Hyang Widhi, Sang Sumber Semesta, sesuatu yang tak tergambarkan, melampaui segalanya, senantiasa murni, kebahagiaan sejati, asal dan tujuan segala makhluk dan tentunya NETI-NETI (bukan ini, bukan itu) alias tak ada definisi yang tepat untuk menggambarkan, menguraikan, dan menjelaskan-Nya.

Sejatinya segala yang ada dan mewujud hanyalah Sang Sumber Semesta.

Semua pergerakan dan kejadian (penciptaan, pemeliharaan, hingga peleburan semesta) adalah tarian kosmis keESAan-Nya.

Apa yang sebenarnya ingin disampaikan dalam mahavakya ini adalah mengenai Moksha, mengenai kemanunggalan kosmik antara Atman dengan Brahman atau Ruh dengan Ruh Agung Semesta.

Tapi bagi sebagian besar masyarakat, umumnya ajaran tentang kemanunggalan kosmik sangat sulit dimengerti. Hal ini wajar karena ajaran ini sangat dalam.

Kemanunggalan kosmik hanya bisa dimengerti melalui pengalaman langsung (Pratyaksa pramana), melalui ketekunan praktek sadhana dan meditasi selama bertahun-tahun. Tidak melalui bacaan atau mendengar ajaran, tapi secara langsung mengarah sangat dalam kepada pikiran-perasaan, ego dan kesadaran diri sendiri.

Sehingga bagi masyarakat luas agar bisa mengerti, tatarannya perlu diturunkan dari kesadaran kemanunggalan kosmik menjadi kesadaran keterhubungan kosmik.

Sehingga Tat Twam Asi kemudian juga diterjemahkan sebagai “KAMU (Semua makhluk, seluruh keberadaan, dan segala hal) ADALAH AKU, AKU ADALAH KAMU (Semua makhluk, seluruh keberadaan, dan segala hal)”.
Sakitmu adalah sakitku, bahagiamu adalah bahagiaku juga.

Karena memang semua adalah pancaran wujud tunggal Sang Sumber Semesta.

Dan semua adalah satu kesatuan dalam wujud tunggal Nya.
Maka akar segala kesadaran jiwa adalah keterhubungan dan kemanunggalan segala keberadaan.

Di dalam Upanishad tertulis sebuah sloka “ketika aku melupakan diriku, aku melayanimu. Dengan melayanimu aku menemukan kembali bahwa Aku Adalah Kamu".

Sloka dalam Upanishad ini bermakna bahwa kita jiwa-jiwa yang tersesat dapat menemukan kembali hakikat sejati sang diri di dalam ketekunan melakukan kebaikan. Dalam jiwa dengan limpahan welas asih dan kebaikan, ke-aku-an (ahamkara) lenyap dan membukakan pintu kesadaran yang baru : “Aku Adalah Kamu”.

Juga inilah bukti nyata keterhubungan kosmik kita, “Setiap kali menghirup napas, kita menghirup 10 pangkat 22 atom dari alam semesta. Sejumlah atom tersebut masuk ke tubuh kita menjadi sel-sel otak, jantung, paru-paru dan lainnya. Setiap kali kita menghembuskan napas, kita mengeluarkan atom 10 pangkat 22 yang terdiri dari kepingan otak, jantung, paru-paru dan lainnya. Secara teknis, kita mempertukarkan organ tubuh kita dengan organ tubuh orang lain, dengan orang yang pernah hidup, bahkan dengan semua makhluk, semua zat, yang pernah hidup. Berdasarkan perhitungan isotop-isotop radio aktif, tubuh kita memiliki jutaan atom yang pernah singgah di tubuh orang-orang suci dan orang-orang genius. Dalam waktu kurang dari 1 tahun, 98% dari semua atom dalam tubuh kita telah berganti secara total”.

Jadi, "atom milikku pernah menjadi atom milikmu" dan "atom milikmu pernah menjadi atom milikku".

Atom-atom terdiri dari partikel-partikel, partikel adalah fluktuasi dari energi. Segala-galanya di bumi ini sejatinya adalah energi. Hakekatnya kita semua adalah satu.

Keharmonisan dengan sesama makhluk akan membawa keseimbangan alam semesta, sebaliknya permusuhan dengan sesama makhluk akan membawa kehancuran alam semesta.
Karena hukum semesta sebab akibat begitu nyata sebagai manifestasi keadilan-Nya.

Jika kita menyakiti apalagi membunuh sesama makhluk, termasuk menyembelih makhluk-makhluk lemah seperti binatang, maka pasti pantulan kesakitan dan penderitaan yang sama akan kembali pada diri kita, selain itu hanya akan mematikan benih welas asih agung.

Jika kita mengembangkan kasih universal dengan mengasihi semua makhluk maka pantulan kasih semesta dan kebahagiaan yang akan kembali pada diri kita, selain itu akan mengikis kekotoran-kekotoran bathin dan membangkitkan bodhicitta.

Doktrin welas asih Tat Twam Asi memotivasi pancaran kasih universal, tidak hanya terbatas pada kesamaan agama dan bangsa atau umat manusia. Kasih sayang yang terbatas bukanlah Tat Twam Asi.

Pun mengasihi bukan saja makhluk yang kasat mata (sekala) seperti manusia, hewan, dan tumbuhan melainkan juga makhluk yang tak kasat mata (niskala), semena-mena dan menyengsarakan makhluk niskala (semisal dengan mengurung dalam botol), pastilah suatu saat pantulan kesengsaraan yang sama akan kita terima.

Sejatinya seluruh makhluk sekala dan niskala adalah “saudara seasuhan” dari Bunda Alam Semesta dan lebih dari itu adalah “Saudara Kandung dalam kandungan tunggal illahi, Hyang Maha Meliputi Segalanya".

Maka dari itu makhluk-makhluk lemah seperi binatang adalah adik kandung sendiri, dengan menyembelihnya akan benar-benar mematikan benih welas asih agung.

Kita berbeda dalam tataran rupa, fisik, dan sukma tapi kita adalah tunggal dalam tataran Ruh, Ruh Esa yang berasal dari pancaran Ruh Agung Sang Sumber Semesta.

Dan dalam tataran jasad material pun sebenarnya kita juga bersaudara dengan semua makhluk dan alam semesta, Sains membuktikan genome dan DNA manusia sama dengan genome dan DNA mahluk hidup lainnya di bumi, hal itu jelas menunjukan kita semua berkerabat dengan pohon, rumput, burung, ikan, anjing, babi, lumba-lumba, paus, harimau, singa, onta, gajah, dan tentunya berkerabat dekat dengan simpanse atau orang utan.

Sedangkan bukti kita bersaudara dengan alam semesta, adalah unsur asal pembentuk tubuh kita dengan unsur awal pembentuk bumi, matahari, bulan, serta semua planet di alam semesta adalah sama dan terbentuk milyaran tahun yang lalu di perapian yang berasal dari keruntuhan sebuah bintang. Kita semua terbuat dari materi bintang.

Pada akhirnya perbedaan galaksi, planet, alam, rupa, serta wujud fisik tak mampu merubah dan mengingkari kenyataan persaudaraan kita. Apalagi perbedaan-perbedaan lahiriah sepele seperti perbedaan gender, orientasi seksual, suku, agama, keyakinan, sesembahan, komunitas perguruan, dan lain sebagainya tak akan bisa menyekat dan merubah status hakiki kita sebagai saudara.

Pemahaman Tat Twam Asi sejalan dengan Sains dalam memandang sesama makhluk di alam semesta, yaitu kerendahan hati mengakui bahwa kasta kita setara dengan makhluk-makhluk lainnya, kita bukanlah pemimpin dari makhluk-makhluk lainnya dan kita tentunya juga bukan makhluk yang paling sempurna, senyatanya alam semesta maha luas dengan banyaknya galaksi yang di dalamnya ada bermilyar-milyar matahari dan bumi kita hanyalah satu titik kecil yang terdapat pada suatu galaksi yang diberi nama Bimasakti.
Akan sangat mubazir manakala kehidupan dan makhluk paling sempurna hanya ada di bumi.
Merasa spesial dan paling sempurna hingga merasa diberi titah oleh Hyang Maha Kuasa menjadi pemimpin makhluk-makhluk lainnya, tidak lain hanyalah kesombongan dan delusi manusia semata.

Pertanda seseorang sudah mencapai tingkat kesadaran keterhubungan kosmik Tat Twam Asi adalah manakala sudah bisa mengasihi sesama penghuni semesta melebihi mengasihi diri sendiri.

Seperti sumpah agung Bodhisattwa yang memilih tinggal di neraka dan tak mau memasuki kebahagiaan Nirwana, sebelum berhasil menyebrangkan semua makhluk menderita di neraka menuju Nirwana.

Karena senyatanya praktik Tat Twam Asi adalah sadhana tertinggi melebihi sadhana pencapaian Nirwana itu sendiri.

Tat Twam Asi adalah tekad agung maha welas asih yang dimiliki para Buddha dan Bodhisattwa.

Tat Twam Asi adalah ruh kehidupan para Buddha dan Bodhisattwa itu sendiri, mereka yang senantiasa berusaha membebaskan semua makhluk dari dukkha dan selalu berharap semua makhluk di seluruh penjuru semesta berbahagia.

Jika Reshi Gotama mengungkapkan “Tat Twam Asi”, yang berarti "Itu adalah kau" atau "aku adalah kamu, kamu adalah aku".

Maka Buddha Gotama mengungkapkan “Anatman”, yang berarti “Tiada Aku”.

Sebenarnya pernyataan "Aku" dalam Tat Twam Asi ini berimplikasi pada “Tiada Aku”/Anatman. Si Aku hanya dapat menyatakan ke-aku-annya apabila ada pihak lain (Kamu,Itu). Tetapi Tat Twam Asi menyatakan Aku tak lain adalah Kamu, maka kepada siapa kah Si Aku dapat menyatakan ke akuannya??? Tidak ada kan? karena tidak dapat menyatakan keakuannya, maka sebenarnya tidak ada yang disebut "Aku".

Orang yang merealisasikan Tat Twam Asi otomatis akan menembus ANATMAN, yang di dalam kesadarannya tidak lagi punya aku, diri atau ego, tidak lagi menganggap dirinya punya roh individual yang terpisah dari makhluk lain.

Pada akhirnya ungkapan “Itu adalah Kau" atau "Aku adalah Kamu, Kamu adalah Aku” hanya ternyatakan di tatar pikiran. Di saat ego atau pikiran berhenti, padam, nirwana, atau moksha tidak ada lagi yang disebut “Itu”, “Kau”, “Aku”, maupun “Kamu”, hanya ketunggalan saja yang ada.

~ Hakikat ajaran Sang Reshi Gotama dan ajaran Sang Buddha Gotama adalah satu adanya ~

Mengenal Tat Twam Asi atau Sira Iku Ingsun (Kamu adalah Aku)

TAT TWAM ASI (तत् त्वम् असि)

Tatwam Asi merupakan filsafat kuno yang menegaskan bahwa manusia bukanlah suatu individu, melainkan suatu kesatuan dari alam semesta yang mewujud menjadi sekarang ini. 

Dalam suatu cerita dari timur, ada pemuda yang sangat pandai di berbagai bidang ilmu pengetahuan, namanya Svetaketu.
Dalam usia yang tergolong masih muda, Svetaketu telah menguasai berbagai cabang ilmu. Ia baru berusia 24 tahun, namun para cendekiawan dan sarjana senior yang jauh lebih tua mengakui penguasaannya. Sayangnya, bersama pengetahuan datang pula keangkuhan.

Resi Gotama, Ayah Svetaketu melihat kesia-siaan putranya. Suatu hari ia memanggil anaknya dan berkata, "Shvetaketu, berbagai cabang ilmu telah kau kuasai, tetapi apakah kau bisa mendengar Ia yang tak terdengar? Merasakan Ia yang melampaui segala macam rasa? Dan, mengetahui Ia yang berada di atas segala macam pengetahuan? Apakah ilmu itu pun telah kau kuasai?"


Svetaketu bingung, setelah membisu sebentar ia menjawab, "Adakah ilmu semacam itu?"

"Ada, dan kau dapat menguasainya" jawab sang ayah.

"Bagaimana, Ayah? Tolong ajarkan kepadaku." Svetaketu baru menyadari kegagapannya. Ternyata masih ada ilmu yang belum dikuasainya. Ilmu yang jauh lebih penting daripada segala macam cabang ilmu yang pernah dipelajarinya.

Resi Gotama menjelaskan, "Tanah liat di seluruh dunia berada di luar jangkauanmu. Namun, segumpal tanah liat berada dalam jangkauanmu. Dengan mengetahui sifat segumpal itu, kau dapat mengetahui sifat tanah secara keseluruhan, secara utuh. Dengan mempelajari sifat benda-benda yang berada dalam jangkauanmu, kau dapat mempelajari sifat Yang Tak Terjangkau!"

"Aku masih bingung, ayah," tanggap Svetaketu jujur.

"Tanah liat itu digunakan untuk membuat berbagai macam peralatan, bahkan mainan, patung, dan lain sebagainya. Bentuk peralatan dan benda-benda itu memang beda, tetapi intinya satu dan sama, tanah liat. Nama dan sebutan yang kita berikan pada setiap benda beda, namun perbedaan itu pun tidak mempengaruhi inti setiap benda. Walau berbeda bentuk, wujud atau rupa, maupun nama atau sebutannya, bahan dasarnya masih tetap sama, tanah liat."

"Contoh lain, emas. Kita menggunakannya untuk membuat berbagai macam perhiasan. Setiap perhiasan beda bentuknya, beda pula sebutannya, namun bahan bakunya tetap satu dan sama. Beda rupa dan nama adalah pemberian manusia; buatan kita. Kita membentuk tanah liat dan emas sesuai dengan kebutuhan kita. Nama atau sebutan pun semata untuk mempermudah perkenalan rupa yang beda-beda itu."

Tak ada yang sulit dipahami. Svetaketu mengerti.

"Nama dan rupa berasal dari manusia. Bahan baku bersifat alami. Nama dan rupa berbeda dan dapat berubah. Bahan bakunya tetap sama, tidak ikut berubah."

"Saya baru paham, Ayah. Terima kasih. Tapi saya ingin tahu lebih banyak... lebih banyak tentang gumpalan tanah yang dapat kupelajari untuk mengetahui sifat tanah liat. Adakah kitab yang harus kubaca untuk itu?" Svetaketu masih tidak dapat memisahkan diri dari pengetahuan yang diperoleh dari buku, dari sumber-sumber di luar diri. Resi Gotama tersenyum, "Svetaketu, janganlah kau terjebak oleh lembaran kitab. Pengetahuan yang kau peroleh dari kitab hanyalah satu sisi dari Pengetahuan Sejati. Keseluruhannya hanya untuk menyadarkan dirimu bahwa masih ada yang jauh lebih tinggi, lebih mulia. Sesuatu yang tak tertuliskan, tak terjelaskan lewat kata-kata. Pengetahuan Sejati adalah Pengetahuan tentang Sifat yang Satu itu. Segala sesuatu dalam alam ini berasal dari Yang Satu Itu." Svetaketu mengangguk-angguk, dan ayahnya meneruskan, "Untuk memahaminya pelajarilah dirimu. Svetaketu, gumpalan tanah liat itu adalah dirimu. Tat Twam Asi __Itulah Kau. Dengan mempelajari diri yang berada dalam jangkauanmu, kau dapat mengetahui sifat dasar Yang Tak Terjangkau Itu!"

Resi Gotama menjelaskan lebih lanjut, "Awal mula, Keberadaan itulah Yang Ada.

"Walau ada yang berpendapat bahwa Ketiadaan itulah yang abadi, Ketiadaan itulah yang ada pada awalnya, tetapi mungkinkah Keberadaan berawal dari Ketiadaan?"

Tentunya tidak bisa, kecuali bila Ketiadaan itulah Keberadaan; kecuali, ketiadaan itulah "definisi kita" tentang Keberadaan; kemudian, Ketiadaan itulah Keberadaan "bagi kita". "Unsur unsur dasar dalam alam ini: tanah, air, api, angin, dan ruang kosong atau langit, semuanya berasal dari Keberadaan itu. Kita semua berasal dari Keberadaan itu. Dunia benda ini, segala yang terlihat maupun tak terlihat oleh mata, semuanya berasal dari Keberadaan. Dan, setiap kita tertidur(tertidur lelap tanpa mimpi) kita kembali menyatu dengan Keberadaan yang adalah Kebenaran Sejati dibalik segalanya, yang menjadi dasar bagi segalanya."

"Bila memang demikian," tanya Svetaketu, "kenapa kita tidak mengingatnya saat terjaga kembali? Kenapa kita tidak mengetahuinya? Kenapa kita masih merasakan perbedaan yang disebabkan oleh nama dan rupa yang berbeda-beda?"

Sang resi menjawab, "Madu terbuat dari sari sekian banyak bunga... bunga-bunga yang berbeda warna, bentuk, dan nama. Sari setiap bunga ada di dalam madu, namun mereka tidak bisa berkata lagi, `Aku sari bunga mawar' atau `Aku sari bunga melati'. Demikian juga dengan bunga-bunga lain. Dalam keadaan tidur lelap tanpa mimpi, bagaikan sari setiap bunga kita menyatu dengan Keberadaan. Saat itu, tidak ada lagi perbedaan antara jiwa yang menghuni badan manusia atau badan hewan."

"Saat terjaga, identitas badan kembali berperan. Identitas berdasarkan nama dan rupa kembali memisahkan manusia dari makhluk lain, bahkan seorang manusia dari manusia lain."

"Kita semua, tanpa kecuali, setiap saat keluar dari alam kesadaran murni Keberadaan dan memasukinya kembali, namun kita tidak menyadarinya. Persis seperti seorang pejalan kaki yang melewati jalan raya di mana terpendam harta karun di bawah tanah. Ia melintasi jalan itu, tetapi tidak menyadari keberadaan harta karun di bawahnya."

"Dan, seperti itu pula kesadaranmu, Shvetaketu. Khazanah, harta karun kesadaran murni ada di dalam dirimu. Selama ini kau tidak menyadarinya. Sesungguhnya, Shvetaketu, Tat Twam Asi__Itulah Kau!"