Home » » Tuhan Hindu mengadili dirinya sendiri ?

Tuhan Hindu mengadili dirinya sendiri ?


Om Awignam Astu Namo siddham
Om Swasty astu

Dari sebuah diskusi santun antar agama di media sosial facebook, ada salah satu seseorang yang mendiskusikan bahwa seluruh Alam Semesta beserta mahluk yang mewujud itu adalah manifestasi dari Tuhan yang Esa tak terfikirkan. Kemudian ada suatu pertanyaan yang bisa kita tarik menjadi topik pembahasan di Ulasan Segar ini. Pertanyaannya seperti ini; "jika semua Manusia yang mewujud adalah wujud dari Manifestasi Tuhan, lalu apakah Kebaikan sekaligus kejahatan yang ada dalam Manusia adalah berasal dari Tuhan ?
Mengapa Tuhan termakan oleh ciptaannya sendiri yang menjadikannya Tuhan mengadili dirinya senidiri ?"

Pertanyaan ini cukup gerah bagi yang belum mengetahui seluk beluk teologi Hindu.
Memang jika kita pelajari hakikatnya semua yang ada ini adalah Tuhan Yang Maha Esa, tapi hal ini jangan di fahami sesempit itu.

Dalam hubungan Tuhan dengan ciptaanNYA, orang Jawa juga menyatakan bahwa Tuhan menyatu dengan ciptaanNYA. Persatuan antara Tuhan dan ciptaannya itu digambarkan sebagai “curiga manjing warangka, warangka manjing curiga”, seperti keris masuk ke dalam sarungnya, seperti sarung memasuki kerisnya. Meski ciptaannya selalu berubah atau “menjadi” (dumadi), Tuhan tidak terpengaruh oleh perubahan yang terjadi pada ciptaanNYA. Dalam kalimat puitis orang Jawa mengatakan:

Pangeran nganakake geni manggon ing geni nanging ora kobong dening geni, nganakake banyu manggon ing banyu ora teles dening banyu.
Artinya, Tuhan mengadakan api, berada dalam api, namun tidak terbakar, mencipta air bertempat di air tetapi tidak basah.

Sama dengan pengertian "wyapi", "wyapaka" dan "nirwikara" dalam agama Hindu. Oleh karena itu Tuhan pun disimbolkan sebagai bunga “teratai” atau “sekar tunjung”, yang tidak pernah basah dan kotor meski bertempat di air keruh.

Dengan pengertian demikian maka jarak antara Tuhan dan ciptaannya pun menjadi tak terukur lagi. Tentang hal ini orang Jawa mengatakan:

“adoh tanpa wangenan, cedhak tanpa senggolan”, artinya " Artinya: jauh tanpa batas, dekat namun tak bersentuhan".

Dari keterangan di atas jelaslah bahwa pada hakekatnya filsafat Jawa adalah dari Hinduisme, yang monotheisme pantheistis. Karena itu pengertian "Brahman Atman Aikyam", atau Tuhan dan Atman Tunggal, juga dinyatakan dengan kata-kata “Gusti lan kawula iku tunggal”. Di sini pengertian Gusti adalah Tuhan yang juga disebut Ingsun, sedangkan Kawula adalah Atman yang juga disebut Sira, hingga kalimat “Tat Twam Asi” pun secara tepat dijawakan dengan kata kata “Sira Iku Ingsun” atau “Engkau adalah Aku”, yang artinya sama dengan kata-kata “Atman itu Brahman” dan pada filfasat hindu selanjutnya ada kalimat "Aham Brahmasmi" artinya Aku adalah Tuhan. Yang dimaksud "Aku" bukanlah wujud manusia, tapi yang dimaksud "Aku" adalah kebenaran yang sejati yaitu sang Roh/Atman. Pemahaman yang demikian itu tentunya memungkinkan terjadinya salah tafsir, karena menganggap manusia itu sama dengan Tuhan. Untuk menghindari pendapat yang demikian, orang Jawa dengan bijak menepis dengan kata-kata “ya ngono ning ora ngono”, yang artinya “ya begitu tetapi tidak seperti itu” dan orang Hindu mengatakannya dengan kalimat "Neti - neti" artinya Tuhan bukan ini, juga bukan itu. Mungkin sikap demikian inilah yang menyebabkan sesekali muncul anggapan bahwa pada dasarnya orang Jawa dan Hindu penganut pantheisme yang polytheistis, sebab pengertian keberadaan Tuhan yang menyatu dengan ciptaannya ditafsirkan sebagai Tuhan berada di mana saja, apa saja dan siapa saja, hingga apa saja dan siapa saja bisa di Tuhankan. Anggapan demikian tentulah salah kaprah, sebab Brahman(Tuhan) bukan Atman dan Gusti bukan Kawula walau keberadaan keduanya selalu menyatu. Brahman adalah sumber energi dan sumber asal mula, sedang Atman cahayanya. Kesatuan antara Krisna dan Arjuna oleh para dalang wayang sering digambarkan seperti “api dan cahayanya”, yang dalam bahasa Jawa “kaya geni lan urube”.

Dalam penciptaan semesta menurut filsafat Hindu dalam Regweda, elemen dasar dunia adalah "Asat" atau ketiadaan yang sama dengan "Aditi" yaitu ketidak terbatasan. Semua yang ada adalah "Diti" yaitu yang terikat. Ajaran dalam Regweda juga menyatakan bahwa alam semesta diciptakan oleh Tuhan dari unsur yang sudah ada pada tuhan itu sendiri. Unsur itu iyalah Purusa dan prakerti. Kemudian alam semesta terbentuk secara bertahap dan berevolusi. Penciptaan alam semesta dalam kitab Upanisad diuraikan seperti laba-laba memintal benangnya tahap demi tahap, demikian pula Tuhan menciptakan alam semesta tahap demi tahap. Setelah menciptakan alam semesta, kemudian  Tuhan meresapi seluruh ciptaan-Nya. Tidak ada segala sesuatu yang tidak berisi resapan Tuhan. Tuhan bermanifestasi melalui tenaganya untuk mewujudkan Alam Semesta, dan pada akhirnya zaman Alam semesta akan masuk kembali dengan sendirinya ke dalam tenaga Tuhan. Ya kenyataannya memang  seperti itu, karena jika tidak, apakah ada suatu yang lain untuk menjadikan asal mula alam semesta dan mahluk ini ? Tentu jika kita jujur, kita akan mengatakan "tidak". Karena kita percaya bahwa asal mula Alam semesta itu adalah Tuhan sendiri, kemudian setelah tercipta Tuhan meresapi/memasuki ciptaannya itu sendiri.

Perhatikan sloka berikut:

Bhagavad Gita 9.8
Seluruh susunan alam semesta di bawah-ku. Atas kehendaku alam semesta dengan sendirinya diwujudkan berulang kali. Atas kehendakku akhirnya alam semesta ini dileburkan.

Bhagavad gita 9.10
Alam material ini, salah satu di antara tenaga-tenaga Ku, bekerja di bawah-ku, dan menghasilkan semua makhluk baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Di bawah hukum-hukum alam material, manifestasi­ini diciptakaan dan dilebur berulangkali.

Bhagavad Gita 9.7
Pada akhir zaman, semua manifestasi material masuk ke dalan tenaga ku, dan pada awal zaman lain, Aku menciptakannya sekali lagi dengan kekuatanku.

Note:
(Kenapa alam semesta ini terwujud berulang kali ? Karena jika ada suatu keadaan, pasti akan ada suatu ketiadaan, begitupun sebaliknya. Itulah yang dinamakan siklus Alam semesta)

Tetapi dalam hal perwujudan yaitu Tuhan yang bermanifestasi untuk mewujudkan Alam semesta dan Mahluk, Tuhan sendiri tidak terikat oleh ciptaannya. Walaupun Tuhan bermanifestasi menjadi bentuk Alam semesta dan mahluk, dan walaupun segala suatu itu pasti bersandar pada Tuhan, tapi Tuhan tidaklah bersandar pada manifestasi ciptaannya itu sendiri. Yang artinya Tuhan tidak terpengaruh sama sekali dengan ciptaanya. Dia bersih tak ternodai oleh apapun. Bagaikan teratai yang selalu bersih dan tidak basah diantara kolam yang berlumpur. Itulah kehebatan Tuhan yang tidak terbatas. Maka dari itu dalam hindu Tuhan dikatakan "neti neti" bukan ini juga bukan itu.

Kita perhatikan sloka berikut

Bhagavad Gita 9.6
Semua mahluk hidup yang diciptakan bersandar di dalam Diri-ku bagaikan angin besar yang bertiup dimana mana selalu berada di angkasa.

Bhagavad Gita 9.5
Mengertilah walaupun aku wujud dalam alam semesta, namun segala sesuatu yang diciptakan tidak bersandar dalam Diri-ku. Lihatlah kehebatan batin-ku! Walaupun aku memelihara semua mahluk Hidup dan walaupun aku berada dimana mana, namun aku bukan sebagian dari manifestasi alam semesta ini, sebab Diri-ku adalah sebagai asal mula ciptaan.

Bhagavad gita 10.40
Perwujudan - perwujudan rohani-ku tidak ada batasannya. Apa yang telah kusabdakan kepadamu hanya sekedar petunjuk saja tentang kehebatan rohani-ku yang tidak terhingga.

 Jiwa itu manifestasi Tuhan, tapi Tuhan tidak bisas dikatakan Jiwa, karena Tuhan merupakan mewakili dari setiap jiwa, jiwa ibarat setetes air dan Tuhan ibarat samudera. Dalam tokoh filfasat hindu yang bernama Adi Shakara charya mengatakan bahwa Tuhan (Yang Mutlak) sajalah yang nyata, dunia ini tidak nyata dan jiwa manusia atau roh pribadi tidak berbeda dengan Brahman(Tuhan YME). Inilah yang merupakan sari pati dari filsafat Sankara (Masvinara, 1999:182)

Menurut Upanisad, Brahman(Tuhan) itu tidak dapat diuraikan dengan perantaraan sesuatu wujud yang terbatas, maka itu Brahman dikenal sebagai "neti-neti" yang artinya bukan ini bukan itu. Dipihak lain Upanisad menyatakan bahwa Brahaman memiliki sifat-sifat dan merupakan sumber dari segala sesuatu. Terhadap pernyataan Upanisad ini Adi Sankara Charya memberi penjelasan, bahwa Brahman(Tuhan) memiliki dua wujud yaitu para Brahman dan apara Brahman. Para Brahman adalah perwujudan Brahman(Tuhan) yang absolute tanpa sifat, tanpa bentuk, tanpa perbedaan dan tanpa pembatasan.

Dalam wujud seperti ini Tuhan disebut Nirguna Brahman. Nirguna juga disamakan dengan sunya, niskala, parama Siwa yaitu suatu istilah yang digunakan untuk memahami hakekat Tuhan dalam keadaan-Nya yang semula. Tuhan dalam sifat Nirguna Brahman tidak disertai dengan keterikatan dunia yang maya ini, tanpa adanya penciptaan, pemeliharaan dan peleburan alam semesta, artinya tidak ada yang namanya penciptaan mahluk, karena dalam hal ini semua yang ada itu adalah Tuhan itu sendiri. Wujud Para Brahman itu dipandang bukan dari alam manusia tetapi dari Brahman itu sendiri yang tanpa pribadi dan tanpa sifat.

Sedangkan Apara Brahman adalah perwujudan Brahman yang relatif dalam artian Brahman memiliki sifat-sifat dan pembatasan. Apara Brahman terjadi untuk manusia dalam pemujaannya terhadap Tuhan. Dalam wujud Apara Brahman Tuhan dipandang sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur alam semesta beserta isinya, maka itu Tuhan dipandang sebagai Yang Maha Tahu dan Yang Maha Kuasa. Karena dunia dicipta oleh Tuhan maka dunia dianggap benar-benar real atau nyata. Dalam keadaan seperti ini Tuhan juga dinamakan Saguna Brahman atau Iswara yang dipuja atau disembah oleh umat manusia.
(Sumawa dan Raka Krisnu, 1993 : 210)

Menurut Sankara segala sifat peristiwa perbuatan baik maupun buruk atau perwujudan itu tidak nyata atau sementara/tidak abadi, yang merupakan hasil dari Avidya(kebodohan) atau kegelapan yang ada di pikiran manusia. Sankara menyangkal adanya kenyataan yang lebih dari satu selain Tuhan itu sendiri, karena segala sesuatu dialirkan dari satu asas yaitu Tuhan YME.
(Sumawa dan Raka Krisnu, 1993 : 209) )

Setelah melihat kenyataan di atas kita kembali ke topik pertanyaan.

Dalam setiap peristiwa yang ada di kehidupan ini, sesungguhnya bersifat netral dan memang demikian adanya. Persepsi pikiran Manusia kemudian menamainya kejahatan dan kebaikan, sesuai kepentingan itu sendiri, hal inilah yang sering kita sebut sebagai dualitas kehidupan.

Jadi gimana?, apakah kebaikan ataupun keburukan dalam kehidupan manusia juga termasuk perwujudan Tuhan ?

Jawabannya "Tentu tidak".
Saat melihat segala peristiwa kehidupan ini dari kacamata semesta atau dari Tuhan, segala peristiwa kehidupan ini adalah bagian dari kepentingan Tuhan semesta itu sendiri. Namun Tuhan tidak memberi penilaian atas kebaikan maupun keburukan terhadap setiap peristiwa yang ada, karena kepentingan itu dimaksud hanya didasari oleh kebenaran.

Perhatikan sloka berikut:

Bhagavad Gita 5.15
Tuhan Yang Maha Esa tidak mengambil kegiatan yang saleh(kebaikan) atau kegiatan yang berdosa(keburukan) yang dilakukan oleh siapapun. Akan tetapi, mahluk yang berbadan(manusia) dibingungkan oleh kebodohan(Avidya) yang menutupi pengetahuan mereka yang sejati(sang roh)

Pada hakikatnyapun Kebenaran sejati yang terletak pada diri manusia(sang roh), juga tidak terlibat atas kebaikan maupun keburukan yang ada. Karena memang hakikatnya semua yang ada ini bersifat netral.
Perhatikan Sloka berikut:

Bhagavad Gita 5.14
Sang roh di dalam badan, tidak menciptakan kegiatan untuk menghasilkan maksud perbuatan tertentu. Segala hal tersebut dilaksanakan oleh sifat2 alam material yang mengikat Indra manusia.

Dari kacamata panca indra manusia, peristiwa perbuatan semacam itu mendapat penilaian dan nama sebagai Kebaikan maupun keburukan/berkah dan bencana, karena sifat manusia memiliki kepentingan atas peristiwa itu yang didasari pada pembenaran dari objek indra kita.
Kenapa disini saya menyebutkan kepentingan itu didasari atas pembenaran ? Karena Jika suatu Kebenaran itu mempunyai alasan maksud tertentu, maka kebenaran akan berubah menjadi suatu pembenaran yang pembenaran itu didasari oleh maksud tujuan untuk membuahkan hasil tertentu.

Jika seorang sudah meninggalkan segala jenis perbuatan yang dimaksud untuk membuahkan hasil, baik itu kebaikan maupun keburukan, orang itu sudah bisa dikatakan sudah berada dalam kesadaran rohani sejati yang murni.
Perhatikan sloka berikut:

Bhagavad Gita 2.55
Apa bila seorang meninggalkan segala jenis keinginan untuk kepentingan objek indra, yang muncul dari pembenaran tafsiran pikirannya, maka pikirannya yang sudah disucikan dengan cara seperti itu, hanya puas dalam kesadaran rohani sang diri, dikatakan ia sudah berada dalam ke adaan rohani yang murni.

Orang yang teguh dan mantap akan dualitas Dunia ini tidak akan bingung dengan Kebaikan maupun keburukan yang tidak ada ini. Orang yang seperti itu akan melihat peristiwa itu secara netral dan seperti itu adanya.

Perbuatan buruk adalah bagian dari indra manusia, bukanlah dari sang diri(sang roh) maupun dari Tuhan. Karena sang diri(roh) dan Tuhan tidak memiliki ikatan yang menjadi suatu kepentingan atas hal itu, seperti halnya sifat baik. Selama manusia lahir hingga dewasa, informasi informasi tentang kedua sifat berbeda itu memasuki fikirannya dan menjadi pilihan saat menghadapi kehidupan. Orang orang menjadi baik karena lebih memilih bisikan-bisikan sifat baik dalam diri, demikian sebaliknya. Meditasi dan yoga adalah latihan untuk memfokuskan pikiran kepada hal hal yang ingin kita fokuskan menjadi seimbang dan netral.
Perhatikan sloka berikut:

Bhagabad Gita 2.48
Lakukanlah kewajibanmu dengan sikap seimbang, lepaskanlah segala ikatan terhadap sukses maupun kegagalan. Sikap seimbang seperti itulah yang disebut yoga.

Bhagavad Gita 2.50
Orang yang menekuni bhakti mebebaskan dirinya dari perbuatan yang baik dan buruk bahkan dalam kehidupan ini sekalipun. Karena itu, berusahalah untuk melakukan Yoga.

Bhagavad Gita 2.51
Orang yang membebaskan diri dari hasil pekerjaan di dunia material. Dengan cara demikian mereka dibebaskan dari siklus perputaran kelahiran dan kematian(reinkarnasi/penitisan) dan mencapai keadaan di luar segala kesengsaraan (Menyatu pada wujud yang sejati Tuhan Yang Maha Esa)

Untuk mewujudkan kita sebagai pribadi yang sejati dan sadar dalam rohani yang murni, kita harus menerapkan meditasi dan yoga dalam keseharian, dengan memfokuskan pikiran pada sifat-sifat yang tidak kita ingin tampilkan, maka dengan cara itu, kita akan menjadikan diri kita sebagai pribadi yang sejati. Jika sudah dalam kesadaran rohani yang sejati, kita akan melihat apa yang terjadi itu tidaklah kekal dan segala peristiwa yang baik maupun buruk itu tidaklah ada dalam diri sejati setiap mahluk. Semuanya bersifat netral dan seperti itulah adanya. Jika sudah mencapai kesadaran seperti itu, tidak ada kemungkinan diri kita untuk mencapai ke yang Maha Tunggal dan Maha Sempurna ( Moksantram Jagadhita/Manunggaling kawulo lan Gusti ).

0 comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar secara sopan dengan menggunakan bahasa baku yang baik dan benar demi menghindari spam.

Follow us on Facebook

Translate